Powered By Blogger

Rabu, 31 Oktober 2012

ASAL WARGA CINA BENTENG

sal nama Benteng berasal dari benteng yang didirikan Belanda di Timur kali Cisadane untuk mempertahankan diri dari serangan Banten yang ingin merebut wilayah sebelah timur kali Cisadane, yang termasuk Tangerang yang saat itu dikuasai VOC. Saat ini Banten sudah tidak ada lagi, tinggalah pemukiman Tionghoa yang awalnya berdiri di Pasar lama yang terkenal dengan Petak Sembilan yang ditandai dengan Kelenteng Boen Tek Bio. Orang-orang yang tinggal di dekat benteng itulah yang kemudian menamakan diirnya Cina Benteng. Setelah itu warga keturunan Thionghoa tersebar di pedesaan yang terletak diwilayah Tangerang dan Batavia. Setelah memperoleh izin dari VOC, orang-orang dari tiongkok datang ke wilayah sebelah timur kali Cisadane untuk membuka hutan belantara untuk mendirikan perkebunan tebu dan mendirikan pabrik gula, hal ini terjadi setelah 1682 (tahun perjanjian antara VOC dan Banten). Namun pada masa itu industri gula menurun pada 1730an, sehingga menyebakan pengangguran dan menyebakan tragedi pembantaian pada 1740. Setelah itu warga beralih menjadi petani padi hingga sekarang.
Minggu pagi, 25 April 2010, sejak pagi Vihara telah ramai dikunjungi anak-anak. Mereka berkumpul untuk belajar bersama dan bermain, kegiatan mereka beragam dari latihan tata cara ibadah, menyanyi bersama atau sekedar bercengkerama dengan sesama teman. Hari minggu menjadi saat yang hidup bagi vihara tersebut. Anak-anak menghabiskan waktu mereka disana, dengan bercanda dan bermain bersama, keceriaan mereka tak terganggu meskipun penggususran tengah menghantui kehidupan mereka.
Siang mulai beranjak ketika tiba saatnya untuk berkunjung ke pemukiman warga, kali ini tempat pertama yang saya datangi adalah wilayah Tangga Asem. Pemukiman warga yang diapit sunga Cisadane serta kuburan Cina ini, bisa dibilang perkampungan yang tak juga menguntungkan buat warga. Akses jalan menuju daerah teersebut adalah jalan tanah dan berdebu. Sepanjang perjalanan saya berpapasan dengan truk pembawa sampah yang meninggalkan aroma busuk luar biasa.
Bertemu dengan ibu Ani, perempuan tua berumur 65 tahun ini hanya termangu ditepi jalan bersama cucunya. Teror penggusuran itu telah mengubah kehidupannya menjadi was-was tiap saat. “ Saya tinggal disini sudah puluhan tahun, dan baru kali ini saja akan digusur. Mau kemana kalau rumah digusur..paling-paling pindah ke depan…” Telunjuknya mengarah pada kuburan cina di seberang jalan. Kuburan Cina itu berdiri amat megah diantara deretan rumah berdinding bambu dan beratap daun kelapa. Rata-rata rumah warga di Tangga asem masih seperti itu, berderet amat rapat sehingga tak jelas batas antar keluarga.
Siang itu beberapa warga berkumpul dan membahas persoalan penggusuran yang mereka alami. rata-rata kaum ibu berkumpul bersama anak-anaknya. Dari pembicaraan mereka, tersirat bahwa kekecewaan mereka terhadap walikota Tangerang mengemuka. Bahkan janji kampanye walikota beberapa waktu lalu menjadi angin surga saja bagi mereka. “Saya disuruh milih Wahidin saja waktu pilihan, katanya orangnya baik, suka menolong dan tak akan menggusur warga. Tapi apa buktinya….sekarang kita suruh pindah tanpa diberi tahu kemana…”.
Obrolan ibu-ibu itu memberi sebuah sinyal bahwa janji walikota tersebut hanya mimpi. Disaat kampanye mereka dibutuhkn suaranya, tetapi saat ini mereka justru tengah berada di ujung tanduk. “Jangankan untuk pindah, untuk makan saja sulit…kalau pindah kemana?”.
Sore mulai merambat ketika saya bertemu dengan Ivana, arsitek lulusan Universitas Indonesia itu datang atas undangan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH), membawa peta wilayah sepanjang bantaran sunga Cisadane. “Peta ini akan membantu kita untuk melihat wilayah kita tinggal, termasuk peninggalan bersejarah, aktivitas warga, kebudayaan dan tradisi yang ada. Peta ini akan membantu warga memetakan sendiri wilayahnya sebelum digusur”. Ujarnya. Hal ini menerik sekali menurut saya, bagaimana warga diajak untuk mengenali potensi wilayah mereka, dan memetakan kedaan daerahnya sendiri. Bahkan gambaran bagaimana mengatur wilayah mereka apabila tidak terjadi penggusuran kelak. Malam ini rapat digelar bersama warga untuk mempersiapkan penghadangan satpol PP pada penggusuran esok.
Senin, 26 April 2010 sejak pagi warga sudah berkumpul di Vihara Maha Bodhi, mereka sudah mempersiapkan diri untuk menunggu perintah dari koordinator warga seandainya penggusuran terjadi hari ini. Pagi ini saya bersama beberapa teman menelusuri sepanjang bantaran suanga Cisadane, salah satu tempat yang ingin saya kunjungi adalah rumah paling tua disana. Menurut warga tempat itu adalah bangunan paling tua dikampung itu.
Menelusuri pinggiran kali, menemukan gundukan sampah diantara rumah warga menjadi hal yang sangat biasa. Rumah beratap dedaunan semarak berdiri disepanjang sungai, saya berhenti di pinggir sungai ketike menemukan pintu air sepuluh. Pintu air yang berfungsi sebagai penahan air dan irigasi dibangun pada tahun 1825-1830. Pintu air di berdiri kokoh dan kuat membentang disepanjang sungai, sejarah telah memberi bukti bahwa kala itu perekonomian terbangun disana dengan kuatnya. Bahkan kehidupan masyarakat dari pertanian menjadi raja pada masanya.
Setelah berkeliling kampung saya akhirnya menemukan sebuah bangunan kuno, kusam dan tak terawat, Inilah rumah tua yang saya cari. rumah itu berdiri tak lebih dari 100 meter dari sungai Cisadane. Di sana saya bertemu seorang perempuan tua berumur 85 tahun. Ong Yong Yong, demikian ia memperkenalkan dirinya. “Saya tinggal disini sejak umur 12 tahun, saat semua orang berlari menyelamatkan diri dari kejaran Belanda”. Ucapnya sambil menatap lurus kearah saya. Bisa dikatakan rumah ini seperti bangunan kotak, dindingnya kusam dan ditumbuhi lumut, dua pintu yang menjadi fentilasi bangunan kuno itu saling membelakangi. Pilar-pilar besar berdiri kokoh menopang bangunan ini. Tak ada perabotan didalam rumah itu, hanya sebuah dipan, meja untuk menaruh hio atau sesembahan. Dapur yang tak bersekat dan sebuah kamar mandi kuno. “ Rumah ini dulu milik tuan tanah, orang kaya pemilik perkebunan disekitar sini. Saya bersama orang banyak dulu mengungsi disini”. Rumah ini sejak 73 tahun lalu dihuni oleh Ong Yong Yong bersama puluhan pengungsi, menurutnya pada saat ini bangunan rumah tersebut sudah kusam dan tak terawat. Lambat laun sesama pengungsi yang tinggal disana kemudian berpencar, membangun rumah sendiri-sendiri, lalu tinggalah ia bersama keluarganya.
Rumah ini mungkin sudah ratusan tahun usianya, karena seingat Ong Yong Yong kondisi rumah itu sudah begini sejak kedatangannya. Dan genting rumahnya pun belum pernah diganti selama ini. “Kalau bocor iya sering, tapi kalau diganti belum pernah” ujarnya. Perempuan tua itu hanya berharap penggusuran tak terjadi, karena baginya ditempat inilah orangtuanya dulu meninggal dan kini ia tetap tinggal ditempat ini.
Perjalanan saya siang ini dilengkapi dengan mampir kerumah penduduk pembuat kue-kue tradisional, beraneka rupa kue tradisonal dibuat oleh warga. Namun karena mereka was-was adanya penggusuran hari itu saya hanya bertemu dengan seorang ibu yang tetap membuat kue tradisonal. Anak-anak sekarang mengatakan kuenya bernama Love, karena memang bentuknya love atau daun. resep kue ini diperoleh dari mertuanya dan konon sudah turun temurun dari nenek moyangnya. Dalam sehari keluarga ini menghabiskan tepung sebanyak 4 kilogram untuk membuat kue. “Kue ini tanpa pengawet dan pemanis buatan, saya tak berani pakai macam-macam karena anak saya juga senang kuenya”. Kalau pagi saya membuat koe love ini, sedang sore membuat cucur, gimana kalau digusur rumah tak ada penghasilan hanya dari jualan kue ini”. ujar perempuan yang juga menanggung hidup ibu, suami dan anaknya dari jualan kue tersebut.
Bantaran sungai/kali Cisadane yang airnya berwarna hitam tak mengahalangi anak-anak mandi dan bermain sore itu. Anak-anak menikmati kehidupan dengan caranya sendiri yaitu berenang mencari ikan dan bermain air. Keceriaan terlintas dari tawa mereka seolah mereka tidak menangkap getar kkawatir dari benak orang tuanya bila esok mereka tak lagi bisa bermain disana.
MEREKA TETAP MELAWAN
Selasa 27 April 2010, sejak pagi saya dan teman-teman sudah siap-siap untuk menunggu kedatangan satpol PP kali ini. Hari ini adalah batas akhir dari 14 hari sesudah penggususran pertama tanggal 13 April lalu digagalkan warga. Hal ini berdasarkan surat resmi yang dikirimkan camat Neglasari kepada warga agar mengosongkan rumah tinggalnya selama kurun waktu 14 hari setelah penggusuran awal. Namun warga bersikukuh untuk tidak akan meninggalkan rumahnya. Maka pagi itu tiga titik rawan di desa dijaga oleh massa, yaitu Tangga Asem pusat masuk wilayah penggusuran. Kemudian Kokun, atau buburan Cina, dimana daerah itu sempat dimasuki Satpol PP dan Bego untuk menggususr kandang ternak dan pabrik, sementara tempat lain adalah Tempat Pembuangan Sampah (TPS) Rawa Kucing.
Siang begitu panas hari ini, khususnya untuk di Tangga Asem beberapa kali mobil patroli polisi lewat, bahkan beberapa saat kemudian puluhan motor yang di naiki polisi melaju masuk kampung membelah kerumunan warga. Ketegangan jelas tergambar, bahwa hari ini pasti ada eksekusi. Namun hingga siang hari, saat warga khususnya perempuan menggelar aksi di Tangga Asem, satpol PP tak menampakkan diri. Namun semangat kaum perempuan itu tidak luntur meskipun tak ada satpol PP, mereka tetap berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu perlawanan.
Sejarah perlawanan warga Cina Benteng menjadi awal perjuangan bagi kelompok silent majority. Selama ini mereka tak pernah bersuara atas diskriminasi yang mereka alami, atas akses pendidikan dan kehidupan layak yang mereka harapkan. Mereka selama bertahun-tahun hidup di pingiran kali, hidup diantara aroma sampah dan himpitan ekonomi. Mereka kaum yang dilemahkan oleh sistem, di pinggirkan oleh kepentingan bangsa ini. Apalagi oleh walikota Tangerang, mereka akan di gusur atas nama penghijaun. Atas nama penertiban mereka akan di usir dari tanah yang sudah membesarkan mereka dari kebudayaan yang mereka bangun bersama nenek moyangnya.
Mereka bukan hanya masyarakat keturunan Cina, tetapi mereka adalah kehidupan bernama manusia, mereka adalah kebudayaan yang hidup. Tradisi yang memperkaya kebangsaan kita yang mewarnai bangsa Indonesia. Bahkan mereka adalah awal mula keberadaan kota Tangerang, sejarahnya sendiri berawal dari pinggiran Cina Benteng.
Perlawanan yang dilakukan warga Cina Benteng membuktikan bahwa mereka saat ini sadar tentang haknya sebagai warga negara untuk mempertahankan haknya. Mereka bersuara, menuntut keadilan atas penggusuran yang mereka alami. Walikota yang bertindak semena-mena untuk mengusir warga bukanlah alasan yang tepat untuk mengatasi persoalan warga. Termasuk kemiskinan yang mereka alami, bisa dibayangkan jika mereka terusir dari kampungnya 300 kepala keluarga itu akan tinggal dimana? bagaimana nasib anak-anaknya, pendidikan mereka, masa depan mereka? Alasan yang tidak masuk akal dari walikota Tangerang untuk menggusur mereka adalah pelanggaran dari UUD 45 pasal 28a Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selain itu pelanggaran Hak asasi manusia, bukankah amandemen UUD 45 telah menjaminnya?
Setiap warga memiliki hak untuk penghidupan yang layak, meskipun tanah air dikuasai negara, namun selayaknya itu untuk kemakmuran rakyatnya, bukan untuk diambil alih secara sepihak. Melawan dan melawan adalah cara yang akan ditempuh oleh warga demi mempertahankan haknya sebagai warga negara ini, apapun etnisnya.
Penggusuran itu tinggal menungu waktu, karena pemda Tangerang masih bersikukuh untuk membersihkan wilayah Cina Benteng dari pemukiman. pemda tak hanya menggeser warga, tetapi telah menghancurkan kebudayaan, etnis dan tradisi turun temurun yang tetap dilestarikan warga Cina Benteng hingga kini. (Bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar